Senin, 20 Mei 2013

Kain Tradisional, Gaya Internasional


Kain asli Indonesia makin berkibar saja kancahnya di dunia adi busana internasional. Desainer-desainer Indonesia saat ini sudah banyak menyadari betapa tingginya potensi kain-kain Indonesia. Dengan keberagaman motif, latar belakang budaya, bahkan filosofinya, kain-kain di Indonesia memiliki kekuatan serta daya tariknya sendiri dibandingkan dengan kain-kain lainnya.

         Sebut saja Dinny Jusuf (56), pemilik brand Toraja Melo yang juga pernah menjabat sebagai Sekertaris jenderal Komisi Nasional (Sekjen Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Bersama Nina Jusuf yang juga bekerja pada bidang konseling khusus perempuan, Dinny kemudian mengangkat tenun khas asli daerah Sa'dan, Toraja, Sulawesi Selatan. Dinny melihat banyak potensi yang dimiliki oleh penenun-penenun ini. Namun kehidupan para penenun ini, yang keseluruhannya adalah perempuan, masih ada di dalam garis kemiskinan. Didirikan dengan tujuan sosial, Dinny dan Nina mulai menggunakan tenun Toraja sebagai aksen khas dari setiap rancangan mereka. 

Saya bersama owner dari Toraja Melo,
 Dinny Jusuf dan Nina Jusuf ketika ditemui di
 butiknya di kawasan Kemang Jakarta Selatan
  Untuk 'menaikan kelas' dan menjadikan tenun Toraja ini lebih aplikatif, Dinny dan Nina mengakalinya dengan membuat beberapa modifikasi. Tenun Toraja seringkali dipadupadankan dengan bahan leather untuk membuat tas dan sendal, serta dipadupadankan dengan bahan katun untuk menciptakan sebuah pakaian yang nyaman untuk digunakan. Rupanya hasil modifikasi ini banyak diminati, baik peminat lokal hingga internasional.

         Selain memasarkannya di Indonesia seperti di Jakarta dan Bali,Toraja Melo pernah memasarkan produknya ke Amerika dan Jepang dan menurut Dinny, masyarakat disana sangatlah antusias. "Sampai pernah ada nenek-nenek di Jepang yang sangat senang dengan produk kita, kemudian bernyanyi-nyanyi di dalam outlet kita," tutur Dinny sambil tersenyum.

Koleksi dari Toraja Melo ketika saya menyambangi Indonesia
Fashion Week pada bulan Februari 2013

         Beda tujuan, beda pula cerita yang dialami oleh Deden Siswanto (44), perancang busana yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Jawa Barat. Apabila Toraja Melo mengangkat tenun Toraja dengan tujuan sosial, Deden Siswanto mengangkat kain Indonesia seperti batik dan songket sebagai salah satu ciri rancangannya. "Setiap perancang busana kan memiliki gaya, dan menggunakan kain-kain Indonesia itu merupakan trademark saya," ujar Deden.

         Deden Siswanto tidak hanya menggunakan satu jenis kain Indonesia untuk disematkan kepada setiap rancangannya. "Sampai saat ini saya masih lebih sering menggunakan batik, tetapi kan masih banyak jenis kain yang dimiliki oleh Indonesia," ujar Deden. Misalnya pada akhir Oktober 2012, Deden mengadakan pula sebuah pagelaran yang mengangkat tenun asli dari Nusa Tenggara Barat.

         Sama halnya seperti Toraja Melo, Deden juga kerap mengombinasikan rancangan-rancangannya dengan kain tradisional agar tetap terlihat modern, elegan, serta yang paling penting ready to wear. Proses asimilasi dalam rancangan-rancangan Deden juga dapat dikatakan cukup tegas dimana unsur tradisional yang dapat ditilik dari motif simetris yang khas tetap berpadupadan dengan selera kekinian.

         Rancangan dari Deden ini juga kerap mewarnai catwalk internasional. Sebut saja pegalaran yang dilaksanakan di salah satu negara dengan sebutan Macan Asia, Hongkong. Menurut Deden, apresiasi masyarakat disana dapat dikatakan antusian terhadap rancangan-rancangannya. Apresiasi ini datang dari pribumi Indonesia yang menetap disana, maupun dari masyarakat Hong Kong. "Tapi yang saya sayangkan apresiasi itu datang dari masyarakat Indonesia apabila sudah ada hasilnya. Dukungan pada saat proses itu yang jarang, baik dari pemerintah maupun masyarakatnya," ujar Deden.

         Inovasi-inovasi yang dilakukan para perancang Indonesia saat ini sudah dapat dikatakan berhasil menembus dinding internasional.  Namun apresiasi serta dukungan dari masyarakat Indonesia rupanya tetap menjadi asupan utama pengembangan ide-ide mereka untuk berkarya. "Kita bukan sekedar jualan, ini sebuah bentuk pelestarian budaya yang menuju punah dimana tas, baju, atau sandal hanya sebagai alatnya saja. Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi?" ujar Dinny.
        
        
             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar